Kanalnews.co, SURABAYA — Hari terakhir International Convention of Asia Scholars (ICAS) ke-13, para peserta membahas isu krusial tentang masa depan tanah di Asia Tenggara, pada, Kamis, (1/8/2024).
Dalam sesi roundtable bertajuk “A Roadmap for Grounding soils in Southeast Asia”, para ahli, aktivis, pegiat seni dan pembuat kebijakan berkumpul untuk membahas tantangan dan peluang dalam pengelolaan tanah yang berkelanjutan serta kaitannya dengan masyarakat.
Tanah merupakan sumber daya yang berperan penting dalam keberlangsungan hidup organisme seperti manusia, tumbuhan, dan juga hewan untuk hidup dan berkembang biak.
Dalam diskusi tersebut peserta menekankan bahwa tanah bukan hanya sekadar sumber daya alam, tetapi juga memiliki nilai budaya, sosial, dan ekologis yang sangat penting. Tanah menjadi fondasi kehidupan, sumber pangan, dan tempat tinggal bagi berbagai makhluk hidup. Namun, tekanan akibat perubahan iklim, urbanisasi, dan eksploitasi sumber daya mengancam keberlanjutan tanah.
Salah satu topik yang dibahas adalah Global Soil Partnership (GSP). GSP yang didirikan pada tahun 2012 dengan misi untuk menempatkan tanah dalam Agenda Global dan untuk mempromosikan pengelolaan tanah yang berkelanjutan.
Huiyin Ng dari Ludwig-Maximillians University, Jerman memaparkan GSP memiliki tujuan untuk meningkatkan kesehatan tanah sebesar 50% pada tahun 2030.
Untuk mencapai tujuan ini, GSP mendorong kerjasama antara berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, sektor swasta, masyarakat sipil, dan akademisi.
Selain GSP, diskusi juga menyoroti pentingnya Regional Soil Partnership’s (RSP) atau bisa disebut dengan Kemitraan Tanah Regional.
RSP berperan penting dalam memfasilitasi pertukaran pengetahuan dan pengalaman antar negara di kawasan Asia. Melalui RSP, diharapkan dapat ditemukan solusi lokal untuk masalah tanah yang spesifik di setiap negara.
Huinyin Ng memaparkan lebih jauh tentang pentingnya agroforestri sebagai salah satu solusi untuk meningkatkan kesehatan tanah. Agroforestri, yang menggabungkan tanaman pertanian dengan pohon, dapat meningkatkan kesuburan tanah, menjaga keanekaragaman hayati, dan mengurangi erosi.
Merajut Kembali Hubungan Manusia dan Tanah
Dimas Dwi Laksana dari Universitas Indonesia menyoroti pentingnya melihat tanah sebagai bagian integral dari kehidupan manusia.
“Sebenarnya tanah bisa juga menjaga kita,” ujar Dimas.
“Di dalam tanah memiliki mineral-mineral yang berbeda, ketika dibalurkan di kulit. Tanah sebagai masker buat muka, ada jenis tanah tertentu bisa mengurangi kandungan minyak di kulit, dan baik untuk menyegarkan kulit lagi.Hal ini menunjukkan bahwa hubungan manusia dengan tanah jauh lebih dalam daripada sekadar hubungan ekonomi,” kata Dimas.
Dimas juga menyoroti peran seni dan budaya dalam menjaga kelestarian tanah.
“Contohnya daerah Jatiwangi Jawa Barat,” jelas Dimas.
“Kandungan tanah liatnya banyak jadi industri tanah liat seperti gerabah, tapi karena ada laju industrialisasi secara global dan ada kebutuhan tanah, jadi pakai genteng dan memainkan musik bahwa menggambarkan mereka sangat dekat dengan tanah dan industri. Hal itu membuat pernyataan bahwa kami ya hidup dari sini. Melalui seni dan budaya, masyarakat dapat lebih menghargai dan melestarikan tanah,” imbuh Dimas
Pentingnya Kolaborasi Antar Pihak
Peserta diskusi sepakat bahwa untuk mencapai masa depan yang lebih baik bagi tanah, diperlukan kolaborasi yang kuat antara berbagai pihak. Beberapa poin penting yang muncul dalam diskusi antara lain:
- Pentingnya pengetahuan lokal: Masyarakat lokal memiliki pengetahuan tradisional yang sangat berharga dalam pengelolaan tanah.
- Kolaborasi lintas sektor: Kemitraan antara pemerintah, sektor swasta, masyarakat sipil, dan akademisi sangat penting untuk mencapai tujuan bersama.
- Peningkatan kapasitas: Perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam mengelola tanah secara berkelanjutan.
- Pemantauan dan evaluasi: Penting untuk melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala untuk memastikan keberhasilan upaya pengelolaan tanah.
Lebih lanjut, Dimas mengapresiasi format ICAS 13 yang melibatkan masyarakat secara langsung.
“Saya kira ini acara menarik, biasanya di konferensi-konferensi lain sudah banyaklah bentuk panel/workshop. Sepertinya dari ICAS ini mereka serius mendorong pihak-pihak yang tertarik dengan workshop itu dengan cara dihubungkan dengan local organism,” jelas Dimas
Ia juga berharap agar konferensi akademik di masa depan dapat lebih terbuka dan inklusif.
“Konferensi terbuka yang melibatkan masyarakat sekitar ini saya rasa penting untuk didorong. Sehingga harapan kedepannya konferensi akademik kesannya bukan tertutup atau eksklusif tapi yang secara resmi tidak mendaftar bisa terlibat,” harap Dimas.
Diskusi panel ini telah memberikan gambaran yang jelas tentang tantangan dan peluang dalam pengelolaan tanah di Asia Tenggara. Dengan semangat kolaborasi dan komitmen yang kuat, kita dapat membangun masa depan yang lebih baik bagi tanah dan generasi mendatang.
Penulis: Meilisa Dwi Ervinda
Editor: A. R. Oka Fahrudzin