Jakarta, KanalNews.co – Para sopir truk di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur dan Cibitung, Bekasi yang biasa mengangkut berbagai hasil komoditas petani-petani dari daerah-daerah lain mengeluhkan kebijakan Zero ODOL atau Over Dimension Over Load yang rencananya yang mulai diimplementasikan awal 2023 mendatang. Pasalnya, kebijakan tersebut jelas akan mempengaruhi mata pencaharian mereka jika pemerintah tidak lagi mengijinkan truk-truk di kedua pasar induk yang hampir semuanya ODOL untuk beroperasi.
“Kalau kebijakan Zero ODOL itu diterapkan dan truk-truk kami tidak diijinkan lagi beroperasi, kami kan jelas akan kehilangan pekerjaan yang menjadi mata pencaharian kami sehari-hari. Keluarga kami juga tidak lagi bisa makan karena tidak ada lagi uang yang bisa diberikan kepada mereka,” ujar salah satu sopir truk asal Palembang, Jhonny, saat ditemui di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur, baru-baru ini.
Sementara, kata pria yang saat itu tengah membawa komoditas nanas dari Palembang ke Pasar Kramat Jati ini, jika bak truk yang dibawanya itu dipotong, muatan yang dibawa juga pasti akan berkurang. “Masalahnya, para petani atau pengirim barang mau tidak jika ongkosnya tidak dikurangi? Bisa dipastikan mereka tidak akan mau dan pasti akan mengurangi ongkos kirimnya karena menganggap barang yang dibawa muatannya juga berkurang setengahnya,” ucap Jhonny.
Dia menuturkan dengan adanya kelebihan muatan saja, uang lebihan yang bisa didapatkannya hanya sebesar Rp 400 ribu. Menurutnya, itu saja sudah sangat minim untuk biaya hidup selama menunggu muatan untuk diangkut ke Palembang lagi. “Apalagi untuk biaya di kota Jakarta sini sopir itu susah. Jika harus menginap dua hari saja, uang lebihan yang didapat itu sudah habis terpakai. Kadang, kami juga harus mengutang juga jika waktu tunggunya agak lama,” tuturnya.
Dia juga menuturkan kebijakan Zero ODOL ini juga akan berdampak kepada para pedagang yang ada di Pasar Induk Kramat Jati. “Apa para pedagang di sini juga mau harga komoditas yang mereka beli dinaikkan harganya oleh para petani? Misalnya harga nanas yang tadinya Rp 3 ribu per buah dinaikkan menjadi Rp 10 ribu. Sayur-mayur yang tadinya Rp 2.000 perikat menjadi Rp 10 ribu. Pasti tidak mau juga membelinya kan?” katanya.
Karenanya, dia berharap agar pemerintah mau mengkaji ulang kebijakan Zero ODOL ini. “Kami berharap kebijakan ini bisa dikaji ulang lagi. Pemerintah jangan hanya mementingkan diri sendiri, tapu harus melihat kesejahteraan kami para sopir truk ini dan juga kehidupan para petani serta pedagang yang ikut terimbas,” tukasnya.
Di tempat yang sama, sopir truk lainnya dari Wonosobo, Jawa Tengah bernama Ojol juga menyampaikan keluhan serupa. Dia juga mengatakan akan kehilangan mata pencaharian bagi keluarganya jika truk-truk ODOL ini tidak diijinkan lagi beroperasi. “Ini sama artinya saya tidk akan bisa lagi bekerja untuk mencari nafkah buat keluarga saya,” tuturnya.
Padahal, lanjutnya, penghasilannya untuk membawa muatan dari Wonosobo ke Pasar Induk Kramat Jati ini tidak begitu besar. “Jadi, jika bak truk harus dipotong dan muatannya dikurangi, itu sama saja dengan mengurangi penghasilan saya. Karena, jika muatan dibatasi ongkos kirimnya juga pasti berkurang,” tandasnya.
Karenanya, dia juga berharap agar kebijakan Zero ODOL ini perlu dikaji ulang dengan memikirkan nasib para sopir truk. “Yang jelas, kami tidak setuju dengan diterapkannnya peraturan tersebut mkarena akan membuat keluarga kami menderita,” katanya.
Pedagang bumbu dari Jembatan Lima, Jakarta Barat, Dedi, yang saat itu tengah membeli kunyit di Pasar Induk Kramat Jati juga mengatakan keberatan dengan penerapan kebijakan Zero ODOL ini. “Kalau muatannya itu dikurangi, itu pasti akan berpengaruh terhadap biaya. Kita sebagai pedagang juga akan mengalami kenaikan biaya angkut untuk barang yang dibeli dari Pasar Induk Kramat Jati ini. Sementara, kalau kita naikkan harga ke konsumen, pembelinya pasti akan berkurang nanti,” ujarnya.
Keberatan yang sama juga disampaikan sopir truk di Pasar Induk Cibitung, Bekasi bernama Mariaman. Dia juga mengatakan akan kehilangan pekerjaan jika truk-truk ODOL tidak diijinkan lagi beroperasi. “Kalau saya tidak kerja lagi bagaimana nanti nasib keluarga saya. Apa pemerintah mau membiayai kebutuhan sehari-hari keluarga saya, kan tidak?” cetusnya.
Dia juga mengatakan bahwa dengan membawa muatan berlebih saja penghasilannya tidak terlalu besar. Dia mencontohkan seperti saat membawa kunyit sebanyak 7 ton ke Pasar Induk Cibitung ini, penghasilannya hanya Rp 350 ribu saja. “Kalau nanti muatannya dikurangi hanya menjadi 4 ton saja, pengirim barang juga pasti akan mengurangi ongkos kirimnya. Bisa dibayangkan bagaimana nasib saya jika ongkos yang sudah begitu kecil masih harus dikurangi lagi. Bisa-bisa kita malah nombok juga dan tidak ada uang yang bisa kita peroleh,” katanya.
Wakil Manajer Pasar Induk Kramat Jati, Harnoto, mengatakan kebijakan Zero ODOL ini bisa menyebabkan pasokan komoditi ke Pasar Induk Kramat Jati ini menjadi berkurang yang disertai dengan naiknya harga. “Akibatnya, masyarakat di DKI Jakarta juga akan sulit untuk mendapatkan sembako dan komoditi sayur-mayur dan lainnya mengingat mengingat barang-barang itu didatangkan dari daerah-daerah,” ungkapnya.
Terkiat alasan pemerintah menerapkan Zero ODOL karena alasan kecelakaan dan keselamatan, para sopir truk ini mengatakan bahwa tidak ada satu pun sopir yang mau celaka. Malah, kata mereka, sebelum berangkat kerja, keluarga juga ikut mendoakan keselamatan mereka. Menurutnya mereka, kecelakaan yang terjadi itu hanya sebuah musibah saja. “Di perjalanan, kami juga selalu berhati-hati saat membawa truk. Kami juga tidak mau celaka kok,” kata para sopir truk ini.
Begitu juga terkait asalan kerusakan jalan dari pemerintah, para sopir truk ini tidak sependapat. Menurut mereka, truk-truk jenis tronton yang muatannya puhuan ton, itu lebih masuk akal untuk merusak jalanan ketimbang truk-truk mereka. Karenanya, para sopir truk di Pasar Induk Kramat Jati dan Cibitung ini berharap agar lebih melarang truk-truk tronton di jalan-jalan ketimbang truk-truk yang mereka gunakan.
Peneliti ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Nailul Huda, menegaskan kebijakan Zero ODOL ini pasti akan diikuti dengan kenaikan harga bahan logistic. Hal itu mengingat kelebihan muatan akan menjadi pengurang biaya pengangkutan. “Jadi, jika pengangkutan dikurangi, ya biayanya akan mahal,” katanya. (adt)