KanalNews.co, Jakarta – Pemerintah provinsi (Pemprov) Bali telah mengambil langkah untuk mengatasi permasalah sampah
dengan menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor 9 Tahun 2025 tentang gerakan Bali bersih. Pembatasan penggunaan plastik menjadi opsi yang diambil Gubernur Wayan Koster dibanding memperbaiki pengelolaan sampah.
Kebijakan ini mendapat pro dan kontra dari berbagai kalangan. Mereka sepakat bahwa Bali harus bersih dari sampah, namun bukan harus membatasi pemakaian kemasan plastik tertentu tetapi dengan memperbaiki pengelolaan sampah plastik yang diyakini bakal memberikan efek domino negatif terhadap perekonomian Bali.
Bali harus mencontoh negara maju seperti Singapura yang tingkat konsumsi kemasan plastik lebih tinggi dari Indonesia namun dapat mengelola sampah dengan lebih baik. Pengelolaan sampah lebih diutamakan karena membuka peluang ekonomi dibanding pembatasan yang berdampak sebaliknya.
Kebijakan salah kaprah ini ditambah dengan blunder lain yakni pembatasan produksi dan peredaran air minum kemasan di bawah 1 liter. Padahal, lebih dari 80 persen minuman kemasan yang beredar di pasaran bervolume kurang dari 1 liter.
Dengan berkurangnya permintaan terhadap produk air minum kemasan maka produsen mungkin menghadapi penurunan penjualan sehingga harus melakukan efisiensi hingga PHK. Hal ini mengganggu perekonomian rakyat dan berpotensi mematikan parwisata di daerah tersebut.
Sejauh ini, Bali memiliki beberapa produk air minum kemasan lokal yang terancam gulung tikar
1. Safe
Produk buatan PT Airkyndo ini telah berdiri sejak 1990 silam. Perusahaan tersebut kini telah dijalankan oleh generasi kedua alias anak dari pendiri perseroan. Coresyaquindo Tedjo Prajogo selaku pimpinan perusahaan sempat mengatakan kalau diperlukan upaya-upaya agar perusahaan dapat tetap eksis dalam jangka panjang.
2. Jimbarwana
CV. Gani Langit Adikara merupakan produsen dari produk air minum kemasan tersebut. Produk ini juga bisa jadi gulung tikar lantaran keberadaan SE nomor 9 tahun 2025 tentang gerakan bali bersih tersebut menyusul hanya menyediakan varian produk dengan volume 220 hingga 600 mililiter. Padahal, produk ini pernah mendapat penghargaan sebagai produk lokal terbaik pada 2023 dan 2024 lalu.
3. Yeh Buleleng
Merupakan hasil produksi PT Tirta Mumbul Jaya Abadi. Direktur Utama, Nyoman Arta Widnyana bahkan telah mengungkapkan keberatan dengan SE Gubernur Wayan Koster. Dia mengungkapkan bahwa kebijakan itu sangat memukul omset perusahaan yang baru bangkit dari keterpurukan penjualan.
“Pemerintah seharusnya berpikir holistik. Artinya dagangan di minimarket yang berbungkus plastik tidak boleh, harus sama rata dengan kami supaya adil. Contoh beli minyak goreng, gula, kopi dan permen itu pakai plastik semua. Ini seakan-akan kami saja yang menimbulkan sampah plastik,” kata Artha Widnyana.
4. Ecoqua
PT Air Gangga Dewata Alami selaku produsen air minum kemasan Ecoqua juga berpotensi bangkrut akibat SE tersebut. Ini merupakan air minum kemasan yang diproduksi dan hanya dipasarkan di Pulau Dewata. Usaha UMKM ini telah berusaha mendapatkan SNI untuk menghasilkan air minum sehat berkualitas bagi masyarakat.
5. Como
Merupakan produk air minum kemasan lokal yang tidak memproduksi galon. Produk ini lebih banyak beredar di pasar dalam ukuran gelas hingga botol 1,5 liter.
6. Aguri mineral
Produk buatan PT Tirta Bali Sejahtera ini mayoritas beredar dalam kemasan di bawah 1 liter. SE tersebut otomatis akan membuat produksi air minum menurun sehingga berdampak pada kelangsungan perusahaan.
7. Nonmin
Adalah air minum kemasan milik CV Tirta Tamanbali yang juga menyediakan produk air kemasan di bawah 1 liter. Pasar yang hanya berada di Bali membuat produk UMKM ini semakin terhimpit setelah SE nomor 9 tahun 2025 tentang gerakan bali bersih sampah diterbitkan Gubernur Wayan Koster.
8. Be Gianyar Mineral Water
Produk air minum kemasan yang didirikan melalui modal Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) ini juga tidak bisa beroperasi maksimal akibat SE tersebut. Saat ini produk air minum kemasan Be Gianyar tersedia dalam ukuran 330 hingga 1,5 liter. Produk BUMD ini juga terancam tak beroperasi padahal baru mendapat suntikan dana Rp 1,5 miliar pada Januari 2025 lalu.
Keberatan akan keberadaan SE tersebut juga sudah disuarakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bali. Pelarangan produksi dan distribusi air kemasan di bawah 1 liter dinilai bisa berdampak kepada perekonomian masyarakat yang menjual produk-produk tersebut.
“Kalau kita lihat tujuan dan maksudnya pelarangan itu memang baik, itu kan SE mengenai sampah. Tetapi, yang disayangkan kenapa harus melarang produksi air mineral yang di bawah satu liter. Ini kan sudah sangat mengintervensi atau sudah masuk ke ranah makanan dan minuman,” kata Ketua Apindo Bali, I Nengah Nurlaba.
Dia mengatakan, SE nomor 9 tahun 2025 itu akan mengganggu keberlangsungan usaha industri-industri barang konsumsi yang ada di Bali, baik besar maupun kecil. Sebabnya, dia juga berharap Gubernur Koster bisa lebih bijak lagi terkait surat edarannya karena dapat berpengaruh ke masyarakat luas.
“Bijak lah untuk mempertimbangkan lagi kebijakannya supaya tidak ada pihak-pihak seperti pengusaha UMKM dan juga pedagang-pedagang masyarakat yang nantinya terimbas karena kebijakan tersebut,” katanya.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Undiknas Denpasar, Ida Bagus Raka Suardana, menilai kebijakan tersebut dapat memberi dampak langsung terhadap struktur ekonomi lokal. Khususnya pelaku industri kecil dan menengah yang selama ini mengandalkan produksi dan distribusi minuman dalam kemasan kecil sebagai sumber pendapatan utama.
“Jadi, kebijakan pelarangan untuk memproduksi air minum kemasan ukuran kecil itu jelas akan menyebabkan produsen skala kecil kesulitan bertahan karena harus berinvestasi ulang pada kemasan besar. Sementara, pangsa pasar mereka sebagian besar ada di produk berukuran kecil,” kata Ida Bagus yang merupakan Wakil Ketua KADIN Bali. (adt)