Kanalnews.co, JAKARTA– Jika Kementerian Perhubungan jadi mengimplementasikan kebijakan Zero ODOL (Over Dimension Over Load) pada awal 2023 mendatang, bisa dipastikan banyak pemerintah daerah termasuk salah satunya Jawa Timur yang akan kehilangan pemasukan atau pendapatan. Hal itu disebabkan kebijakan ini akan memukul sektor usaha logistik yang menjadi salah satu andalan pemasukan Pemda Jawa Timur.

“Jawa Timur akan kehilangan banyak karena kebijakan Zero ODOL ini. Hal itu mengingat perusahaan-perusahaan besar yang ada di sini seperti Indolakto, Mayora, Unilever, dan lain-lain tidak bisa mengirimkan barang-barang mereka ke daerah-daerah lain,” ujar Penangung jawab Aliansi Perjuangan Pengemudi Nusantara (APPN),Vallery Gabriell Mahodim.

Jika itu terjadi, kata Inces, sapaan akrabnya, Jawa Timur akan stag karena sulitnya pengiriman barang akibat banyak truk-truk logistik yang tidak beroperasi karena kebijakan Zero ODOL itu.

“Jika kami tidak bisa beroperasi semua perusahaan yang ada di Jawa Timur tidak bisa mengirimkan barang-barang mereka. Tidak usah lama-lama, tiga hari saja, saya pastikan harga-harga akan naik semua dan inflasi akan menjadi sangat tinggi,” ucapnya.

Sementara, di Jawa Timur, menurut Inces, pemasukan besar daerah ini berasal dari usaha-usaha logistik yang juga sangat mengandalkan transportasi truk untuk membawa barang-barang mereka.

“Pemasukan yang diperoleh Jatim itu sangat besar dari perusahaan logistik. Untuk perusahaan susu saja seperti Indolakto dibutuhkan puluhan truk sehari hanya untuk membawa barang-barang mereka ke daerah Curug, Bogor. Itu perhitungan saya, belum lagi Mayora,” tukasnya.

Menurut Inces, itu belum lagi sektor komoditas yang harus dibawa ke wilayah Timur, dibutuhkan puluhan truk per hari.

“Apalagi kalau terjadi panen buah, itu juga membuthkan banyak truk untuk membawanya ke luar Jatim. Jadi, kalau pemerintah mencoba mematikan truk-truk kita dengan kebijakan Zero ODOL-nya, saya pastikan pemasukan di Jatim ini akan anjlok,” katanya.

Gubernur Jawa Timur (Jatim), Khofifah Indar Parawansa, usai mengikuti Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah bersama Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian secara virtual di Gedung Negara Grahadi Surabaya pada awal November lalu pun mengusulkan agar pemerintah pusat memberikan toleransi waktu terhadap angkutan ODOL untuk belum menerapkan kebijakan Zero ODOL pada tahun 2023 mendatang.

Kadishub Jatim, Nyono, juga sangat menyesalkan kebijakan yang dibuat pemerintah pusat itu karena telah membuat masalah baru di Jatim.

Dia mengatakan kebijakan zero ODOL ini multiplier effect-nya sangat luas.

“Termasuk salah satu yang merasakan akibatnya adalah daerah Jatim,” ujarnya di acara diskusi online untuk mencari win-win solution terhadap kebijakan zero ODOL yang diselenggarakan APPN di Surabaya, Sabtu (16/10) lalu.

Dia juga menyampaikan bahwa dampak penerapan kebijakan Zero ODOL dari sisi kacamata provinsi, dipastikan akan berdampak terhadap meningkatnya biaya operasional angkutan karena truknya harus dipotong.

“Tapi, sebenarnya yang melegalkan truk itu tinggi-tinggi siapa, yang menghalalkan itu siapa, yang melarang juga siapa? Saya punya niat yang baik untuk meyelesaikan ini agar masyarakat dan teman-teman driver jangan dirugikan terus,” ujarnya.

Sementara, Anggota Komisi V DPR RI, Suryadi Jaya Purnama, mengatakan penolakan-penolakan yang terjadi terhadap kebijakan Zero ODOL ini disebabkan belum adanya titik temu antara para stakeholder. Misalnya terkait kebutuhan kapasitas angkutan, daya dukung jalan, termasuk batasan teknis kendaraan dari sisi industrinya.

“Ini yang menyebabkan masalah terkait zero ODOL ini masih belum rampung hingga saat ini. Jadi, belum ada titik temu antara pemerintah dan para pelaku logistik,” ujarnya.

Dia mengutarakan terkait daya dukung  jalan misalnya, itu harus dibuat memadai baik dari sisi bebannya, spesifikasi jalannya, sehingga mampu menampung atau menahan beban yang berat serta dibuat luasan jalan yang cukup lebar. Menurutnya, jika itu dipenuhi, tidak akan ada masalah ODOL di jalan. Atau sebaliknya, ketika dunia industri membatasi kendaraan yang beredar sesuai dengan daya dukung jalan, ini juga tetap akan menjadi masalah.

“Semua ini masih menjadi masalah karena belum adanya titik temu antara para stakeholder terkait kebijakan Zero ODOL ini,” katanya.

Menurut Suryadi, bagaimana memodifikasi angkutan dengan kapasitas besar agar menjadi lebih efektif itu menjadi tantangan saat ini.

“Sebab, ketika itu kita lakukan tapi ternyata daya dukung jalan kita tidak memenuhi, itu kan akan menjadi masalah. Jadi, saya melihat adanya permasalahan dari sisi regulasi yang belum terintegrasi antara penyedia jalan dan kendaraan,” katanya. (adt)