
Kanalnews.co, JAKARTA– Kebijakan Presiden RI Prabowo Subianto melakukan efisiensi anggaran menimbulkan kontroversi. Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menilai kebijakan itu hanya merugikan masyarakat.
Dikutip dari BBC.com, Faisal menyayangkan kebijakan itu diambil di tengah melemahnya daya beli masyarakat, yang tampak dari deflasi 0,76% di Januari 2025 yang dicatat Badan Pusat Statistik (BPS).
Menurutnya salah satu dampak yang dirasakan adalah di Kementerian Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), yang mencapai Rp283,09 miliar atau setara 61,03% dari total alokasi belanja awal. Dengan pemangkasan anggaran, Faisal khawatir membuat kementerian terkait tak bisa menjalankan tugas mengangkat kinerja UMKM, yang selama ini berkontribusi lebih dari 60% terhadap ekonomi nasional.
Saat UMKM tersendat, kelas menengah ke bawah pun diperkirakan ikut kena imbasnya.
Pemangkasan anggaran juga dirasakan di Kementerian Pertanian yang diberi target efisiensi Rp10,28 triliun atau 35,01% dari total alokasi belanja awal. Faisal menyakini akan berdampak kepada masyarakat.
“Orang-orang yang bekerja di sektor-sektor ini adalah kelas menengah ke bawah,” kata Faisal.
“Jadi kalau dipotong anggarannya, akan mengurangi rencana kegiatan, rencana insentif yang diberikan untuk sektor bersangkutan, yang sangat esensial menurut saya.”
Pemerintah memang tidak memangkas alokasi dana bantuan sosial. Target pemotongan anggaran belanja Kementerian Sosial pun tercatat sebesar Rp1,3 triliun, atau hanya 1,67% dari pagu awal.
Namun, Faisal menilai tidak tepat jika pemerintah mengandalkan bantuan sosial yang “tidak berkelanjutan” untuk mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran.
“Itu tidak berkelanjutan karena orang miskin tidak bisa berdaya untuk keluar dari kemiskinan, karena dia jadi bergantung dengan uang yang dikasih pemerintah,” ujar Faisal.
“Begitu dia enggak dikasih uang, dia kembali lagi jatuh miskin.”
Faisal juga menyoroti alasan Prabowo melakukan efisiensi anggaran adalah untuk membiayai program Makan Bergizi Gratis. Bahkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan sinyal menambah anggaran dari Rp 71 triliun menjadi Rp 171 triliun.
Namun, Faisal menilai belum ada jaminan program MBG bakal berjalan secara efektif dan efisien. Pasalnya, di saat efisiensi anggaran, MBG malah ingin membangun 5 ribu dapur baru.
“Mendirikan dapur-dapur baru itu butuh anggaran yang besar. Padahal sudah ada dapur yang dimiliki oleh masyarakat, oleh UMKM. Kenapa enggak pakai itu saja?” kata Faisal.
“Itu yang enggak efisien menurut saya.” (sis)