KANALNEWS.CO., Jakarta – Anindya Bakrie tepilih sebagai Ketua Umum PB PRSI 2021-2025 dalam proses pemilihan virtual, Sabtu (27/02/2021).

Dalam pemilihan dihadiri 34 Pengprov PRSI seluruh Indonesia, namun Maluku tidak memiliki hak suara, jadi total hanya 33 suara.

Dari 33 suara sebanyak 27 Pengprov memilih Anindya Bakrie. Sedangkan lima suara memilih Wibisono. satu suara memilih abstain yakni Nusa Tenggara Barat.
Dengan demikian, pimpinan sidang Mukrid Nasution mengumumkan Anindya Novyan Bakrie sah sebagai Ketua Umum PB PRSI 2021-2025.

Bersama tim formatur, Anindya akan menyusun kepengurusan PB PRSI 2021-2025. Sebagai Ketua Tim formatur Anindya didampingi Donna Faroek (Kalimantan Timur) dan Riswanda (Jawa Timur) akan menyusun tim.

“Selanjutnya kita fokus bersama tim formatur untuk menyusun kepengurusan, karena di depan sudah ada PON 2021 Papua, SEA Games dan event lainnya,” ujar Anin.
“PRSI juga mendukung usaha pemerintah Indonesia bidding menjadi tuan umah Olimpiade 2032. Ini 11 tahun lagi dan kita sudah harus siapkan atletnya dari sekarang, tentu juga harus bekerjasama dengan pemerintah, NOC, KONI Pusat dan daerah serta Pengprov seluruh Indonesia,” jelas Anindya.

Caln lainnya, Wibisono mengaku kecewa dengan proses pemilihan yang menurutnya memang tendensius. Ia merasa kehadirannya sebagai calon ketua umum dipandang sebagai ancaman secara berlebihan oleh kubu petahana. “Saya maju sebagai calon kan karena adanya permintaan dari pengprov ketika kami mengadakan pertemuan virtual. Mereka banyak mengeluh tentang kondisi dunia olahraga akuatik,” kata Wibisono.

Keinginan perbaikan yang diinginkan pengprov saat itu antara lain dikembalikannya ajang Kejuaraan Renang Antara Perkumpuan Seluruh Indonesia (KRAPSI) serta dipindahkannya kantor pusat PB PRSI ke stadion akuatik GBK Senayan. “Saya rasa saat itu tuntutannya masuk akal, jadi ya saya penuhi saja.”

Namun dukungan itu menurutnya menurun setelah pihak petahana mengadakan acara serupa. Bahkan ia merasa bahwa pihak petahana kemudian melakukan beberapa batasan buat dirinya sebagai calon penantang. “Antara lain adanya prasyarat menyetor uang 100 juta rupiah kepada panitia pemilihan. Ya saya menolak karena tidak ada di AD/ART. Untung pada akhirnya prasyarat itu digugurkan,” ungkapnya.

Keganjilan lainnya adalah sistem pemilihan yang tadinya tertutup, tenyata kemudian diubah menjad sistem terbuka dengan penunjukkan pada setiap Pengprov untuk mengucapkan calon pilihannya. “Ya yang seperti ini pasti kan yang diuntungkan petahana,” ungkapnya. (Tjahjo)