Foto: Dok. Istimewa

 

Kanalnews.co, SURABAYA — Konferensi internasional bertajuk International Convention of Asia Scholars (ICAS) masih berlangsung. Agenda yang membahas berbagai isu terkait kondisi sosial masyarakat di Asia tersebut dikemas dalam rangkaian panel discussion.

Salah satunya, sesi diskusi dengan tema Africa-Asia A New Axis of Knowledge – Activities Update and Future Plans I” yang berlangsung pada Rabu, (31/7/2024).

Dalam diskusi yang diikuti 21 peserta dari berbagai negara di kawasan Asia dan Afrika tersebut membahas terkait hubungan persahabatan antara negara-negara Asia-Afrika.

Lina Puryanti, S.S., M.Hum., Ph.D, salah satu peserta yang juga menjabat sebagai Direktur Airlangga Institute of Indian Ocean Crossroads (AIIOC) mengatakan bahwa konferensi digelar untuk mengeksplorasi dan memperkuat langkah-langkah dalam membangun serta mengembangkan hubungan dan potensi antara Asia dan Afrika.

Menurutnya, meski hubungan kedua benua sudah berlangsung lama, namun perkembangan dalam studi dan kerja sama masih belum mencapai tingkat yang maksimal.

Oleh karena itu, diskusi tersebut juga bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengatasi tantangan sekaligus mencari peluang dalam memajukan kolaborasi dan pertukaran pengetahuan antara Asia dan Afrika.

AIIOC (Airlangga Institute of Indian Ocean Crossroads) Sebagai Wujud Nyata Kontribusi Universitas Airlangga

Lina menyebut bahwa berdirinya AIIOC (Airlangga Institute of Indian Ocean Crossroads) di Universitas Airlangga, Surabaya, menjadi salah satu wujud ketertarikan dalam mempererat hubungan Indonesia-Afrika. Bahkan pusat kajian tersebut kini menjadi landasan bagi AIIOC yang baru didirikan.

Melalui ICAS 13, lanjut Lina, AIIOC sebagai lembaga yang berfokus terhadap studi Asia berkomitmen untuk terus memperkuat hubungan persahabatan antara benua Asia dan Afrika.

Ia juga berharap diskusi tersebut dapat memperluas hubungan yang terjalin lama antara kedua benua.

“Namun, di atas semua itu, terdapat satu hal yang sangat penting, yaitu persahabatan. Persahabatan ini memiliki potensi untuk melampaui hubungan formal yang ada, dan kami berusaha untuk memperkuat agar hubungan antara negara-negara di kedua benua tidak menjadi kering,” jelas Lina di akhir wawancara.

Latar Belakang Budaya dan Sejarah yang Sama

Di sisi lain, perwakilan Kasetsart University, Thailand, Lalita menyampaikan bahwa hubungan budaya dan sejarah kedua benua memiliki potensi besar, termasuk dalam hal kolaborasi penelitian di masa mendatang.

Ia menilai, bahwa kedua benua, dengan sejarah panjang dan beragam tradisi budaya, telah terjalin berbagai interaksi baik melalui perdagangan, migrasi, maupun pengaruh kolonial.

Lalita juga mengatakan bahwa penelitian kolaboratif yang memanfaatkan kekayaan warisan budaya dan sejarah ini dapat menggali berbagai topik, seperti dampak interaksi lintas budaya terhadap perkembangan seni visual dan pertunjukan di kedua belah pihak.

Selain itu, menurut Lalita kajian tentang pengaruh kolonial serta perdagangan yang membentuk struktur sosial dan ekonomi di kedua benua dapat memberikan wawasan berharga tentang dampak jangka panjang kolonialisme terhadap masyarakat kontemporer.

“Melalui kolaborasi internasional, para peneliti dapat mengakses sumber daya yang lebih luas dan berbagi pengetahuan yang mungkin tidak tersedia di masing-masing benua secara terpisah”, ujar Lalita, dari Kasetsart University, Thailand.

Karenanya, penelitian bersama ini tidak hanya akan memperdalam pemahaman tentang warisan budaya global, tetapi juga dapat mengidentifikasi pola-pola baru dan hubungan yang mungkin tidak terlihat dalam studi-studi yang terpisah.

Lalita juga mengungkapkan bahwa dengan memanfaatkan kekayaan data historis dan budaya yang ada, kolaborasi antara kedua pihak berpotensi menghasilkan temuan signifikan yang dapat membantu merumuskan strategi yang lebih baik, khususnya dalam pengembangan budaya, kebijakan sosial, hingga pendidikan lintas benua di masa depan.

Penulis: Nuzula Maghfiro

Editor: A. R. Oka Fahrudzin