Jakarta, KanalNews.co – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencoba menjawab tantangan pengurangan plastik sekali pakai melalui Peraturan Menteri LHK No. P.75/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2019 mengenai Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen (Permen LHK 75/2019). Aturan ini mewajibkan produsen di bidang manufaktur, jasa makanan dan minuman, serta ritel untuk mengurangi sampah yang timbul baik dari produk, kemasan produk, dan atau wadah dengan bahan plastik, kaleng alumunium, kaca, dan kertas.
Kewajiban pengurangan sampah tersebut dituangkan dalam rencana pengurangan sampah dalam jangka waktu 10 tahun, sejak 2020 hingga 2029. Sebelum melaksanakan upaya pengelolaan sampah, produsen harus terlebih dahulu menyusun rencana pelaksanaan pengurangan sampah.
Dalam rencana tersebut, produsen diperbolehkan memilih untuk melakukan salah satu cara pengurangan sampah plastik melalui pembatasan timbulan sampah (phase-out/redesign) atau pendauran ulang sampah (retrieve & recycle) atau pemanfaatan kembali sampah (retrieve & reuse).
Dalam diskusi yang diadakan oleh Greenpeace pada 25 Februari 2021 membahas mengenai tanggung jawab produsen terkait dengan plastik sekali pakai. Menurut hasil survey yang dilakukan oleh Greenpeace, menyatakan bahwa ada tiga hal yang harus dilakukan produsen untuk mengurangi plastik sekali pakai
“Dalam hal ini mendorong perusahaan untuk komitmen yang lebih serius pada upaya-upaya dalam penggunaan dalam produksi plastik sekali pakai. Kemudian yang kedua kami juga mendorong perusahaan untuk berinvestasi pada model-model pengiriman alternatif tanpa kemasan plastik. Yang ketiga ini berkaitan dengan salah satu peraturan pemerintah, mendorong produsen untuk bisa lebih bersikap transparan ya ada pengurangan jumlah produksi plastik sekali pakai mereka kepada publik itu dalam hal ini sejalan dengan peraturan Menteri Lingkungan Hidup nomor 75 tahun 2019,” ujar Afifah Rahmi Andini, Peneliti Greenpeace Indonesia.
Terkait dengan pengurangan sampah plastik, Fajri Fadillah, anggota ICEL setuju jika produsen seharusnya lebih mengedepankan isi ulang. Karena saat ini produsen berlindung pada daur ulang yang dianggap dapat menyelesaikan permasalahan, padahal daur ulang bukanlah satu-satunya jalan keluar untuk pengurangan sampah. Publik pun sebaiknya mengawasi tata pengelolaan sampah plastik yang dihasilkan produsen.
“Maka dari itu relevan apa yang disampaikan oleh transparansi menjadi penting dalam tata kelola kita ingin publik bisa ikut terlibat dalam proses kebijakan ini termasuk mengawasi. Seperti yang saya sampaikan sampah yang akan dijalankan perusahaan harus diarahkan pada perubahan yang berupa produksi sampah itu harus transisi pada desain produk yang pada sistem isi ulang bukan bertahan dan menggunakan narasi solusi-solusi yang keliru dari daur ulang,” ujar Fajri.