Foto: Dok. BMKG

Kanalnews.co, BALI — Plt Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Dwikorita Karnawati menyampaikan bahwa kolaborasi negara di kawasan selatan-selatan, termasuk dalam mengembangkan kompetensi mutlak dilakukan guna membangun ketahanan bersama.

Oleh karena itu, pihaknya mendorong penguatan kerja sama kawasan selatan-selatan dalam menghadapi perubahan iklim.

Hal itu disampaikan Plt Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Dwikorita Karnawati dalam High Level Forum on Multi-Stakeholder Partnerships yang diselenggarakan oleh Bappenas di Bali, pada Rabu, (4/9/2024).

“Perubahan iklim harus mendapat perhatian serius karena mengancam keberlangsungan kehidupan umat manusia. Kerjasama negara selatan-selatan penting untuk dilakukan untuk membangun ketahanan bersama,” ujar Dwikorita, dilansir dari siaran pers BMKG.

Lebih lanjut, Dwikorita mengungkapkan bahwa perubahan iklim menjadi telah pekerjaan rumah seluruh pihak, termasuk masyarakat global. Karenanya, kerja sama antara negara sangat dibutuhkan dan harus dilakukan, khususnya untuk menjembatani kesenjangan melalui penelitian dan pengembangan pendidikan, serta memperbaiki layanan iklim berkelanjutan.

“Pasalnya, kesenjangan dalam teknologi dan literasi masyarakat antar negara, khususnya di kawasan selatan-selatan masih sangat lebar,” kata Dwikorita.

Menurut Dwikorita, banyak masyarakat global yang belum mengerti dampak perubahan iklim, termasuk Indonesia. Sehingga, perubahan iklim seringkali hanya dikampanyekan.

“Keberadaan sistem peringatan dini yang dibangun pun menjadi kurang optimal,” tutur Dwikorita.

“Kerjasama dan kolaborasi ini bertujuan untuk memperkuat ketahanan semua negara terhadap perubahan iklim sebagai respon dan penyikapan terhadap situasi bumi kekinian,” imbuh Dwikorita.

Selain itu, Dwikorita menerangkan, suhu global saat ini mengalami kenaikan mencapai 1.45 derajat diatas rata-rata periode pra-industri tahun 1850- 1900.

“Ini berdampak pada akselerasi kenaikan muka laut yang terus menerus naik dari dekade ke dekade. Rata-rata kenaikan muka air laut global berada di level 2,1 mm per tahun antara 1993 dan 2002, lalu menjadi 4,4 mm per tahun antara 2013 dan 2021 atau meningkat dua kali lipat di antara periode tersebut. Realitas ini sebagian besar disebabkan oleh hilangnya es di kutub yang dipercepat oleh melelehnya gletser dan lapisan es lauta, terang Dwikorita.

“Jadi tidak berlebihan jika saya menyebut situasi ini sebagai sesuatu yang sangat serius dan juga harus direspon secara serius,” lanjut Dwikorita.

Lebih jauh, Dwikorita menyampaikan bahwa pihaknya telah bekerja sama dengan negara kepulauan di Kawasan Pasifik sejak tahun 2027 guna merespon peningkatan muka air tersebut.

“Mengingat, realitas bumi kekinian mengancam negara-negara kecil kepulauan. Pelatihan tersebut berupa prakiraan cuaca numerik, tinggi gelombang, monitoring kekeringan, dan program lainnya terkait keamanan wilayah pesisir laut, penilaian risiko, dan sistem peringatan dini. Kerjasama tersebut di antaranya dilakukan dengan Papua Nugini, Tonga, dan Kepulauan Solomon, ucap Dwikorita.

Tidak hanya menekankan pentingnya kerja sama, Dwikorita juga menyebut pentingnya pengawasan berkelanjutan yang terstandarisasi dalam sistem pengukuran peningkatan permukaan air laut.

“Selanjutnya, sinergi bersama melalui pendekatan berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir tanpa mengabaikan kearifan lokal. Dengan demikian, ancaman bencana dapat diminimalisir dan diantisipasi semaksimal mungkin,” ungkap Dwikorita.

Turut hadir mendampingi Dwikorita dalam kegiatan, Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan. (aof)