Foto Kanalnews.co

 

Kanalnews.co, PROBOLINGGO — Pagi itu, Rabu (15/10/2025), Desa Alaspandan, Kecamatan Pakuniran, Kabupaten Probolinggo, seperti kehilangan nafas. Matahari baru naik sejengkal ketika deru kendaraan aparat dan petugas pengadilan memasuki jalan tanah yang kini berubah jadi jalur eksekusi.

Hari itu, pelaksanaan eksekusi lahan sengketa kembali digelar, menandai upaya kedua setelah sempat tertunda pada akhir September lalu.

Sekira pukul tujuh pagi, barisan aparat kepolisian menjaga ketat lokasi. Suasana tampak terkendali, namun di balik itu, kegelisahan warga kian terasa. Sebagian menangis, sebagian lainnya hanya diam menatap rumah-rumah yang akan segera diratakan dengan tanah.

Di barisan depan, wajah-wajah polisi berdiri tegas dengan tameng dan tongkat di tangan. Sebagian menatap lurus, tanpa ekspresi. Ada pula yang tampak menegangkan rahang, menatap warga dengan tatapan tajam yang sulit dibaca antara tugas dan ketegangan. Di sela-sela itu, dua polisi tampak berbisik sambil tertawa kecil. Entah apa yang mereka bicarakan. Tapi di depan mereka, seorang ibu paruh baya sedang menangis gemetar, memeluk anaknya, kebingungan hendak ke mana setelah rumahnya dirobohkan.

Foto Kanalnews.co

Dari balik reruntuhan kayu dan debu, seorang ibu terlihat memindahkan anak ayam dari kardus yang mulai sobek. Di sisi lain, warung kecilnya yang baru dibangun telah rata. Meja berlapis perlak yang setiap pagi ia lap dengan kain kini berdebu, berserakan di antara botol saus dan serpihan piring.

“Dari sinilah kami menyambung hidup,” lirihnya sambil memindahkan cobek yang tampak usang.

Ada kisah pada setiap baju-baju yang berserak di atas tanah itu. Ada jerih payah pada jendela-jendela yang kini terkubur oleh reruntuhan itu. Ada doa di sajadah yang tergeletak itu. Iqra untuk anak-anak mengaji, terlempar begitu saja bersama setumpuk perkakas dapur. Wajan hitam, panci tua, lemari kaca yang menguning, hingga bantal guling itu semuanya menyimpan kenangan tentang tawa, tentang kehidupan sederhana yang kini lenyap ditelan keputusan.

“Kami menghormati putusan pengadilan,” ujar Prayuda, pengacara keluarga Saisin, pihak tergugat dalam perkara sengketa itu. “Kami ikhlas, selama pelaksanaan eksekusi benar-benar sesuai dengan batas yang tertuang dalam amar pengadilan,” tegasnya.

Namun, kata “sesuai” itulah yang kini menjadi perdebatan panjang. Menurut pihak tergugat, batas lahan yang dieksekusi tidak sepenuhnya sama dengan yang disebut dalam amar putusan. Titik patok dan koordinat di lapangan diduga melenceng, bahkan mencakup lahan milik warga lain yang tidak termasuk dalam objek sengketa.

Upaya komunikasi dengan pihak pengadilan di lokasi tidak membuahkan hasil.

“Ketua PN Kraksaan saya ajak bicara, tapi malah pergi meninggalkan lokasi,” ujarnya dengan nada kecewa.

Sebelumnya, eksekusi pada 25 September lalu ditunda karena keberatan serupa. Kala itu, pihak tergugat menilai bahwa lahan yang disebut dalam putusan seluas sekitar 440 meter, namun batas di lapangan justru melebihi itu.

Kini, setelah dua kali percobaan, debu benar-benar naik ke langit Alaspandan. Pohon-pohon nangka yang mereka tanam sejak kecil, tumbang. Ayam-ayam berlarian, melihat kandangnya hancur tertimpa reruntuhan.

Polisi berdiri dengan tameng dan tongkat di tangan. Mereka menjalankan tugas. Namun di mata warga, entah di mana keberpihakan itu berada.

Warga Alaspandan menangis. Mereka tak hanya kehilangan tanah dan rumah, tapi juga ruang hidup, kenangan, dan masa depan yang dibangun perlahan dari jerih payah.

Di tengah suasana itu, seorang nenek tua berusaha menahan tangis saat melihat kasur tipis dan perkakas rumahnya diangkat keluar oleh petugas. Dengan suara serak dan gemetar, ia memohon pada seorang polisi yang berdiri di dekat pintu rumahnya.

“Nak, jangan semua dikeluarkan begitu saja… itu tempat saya tidur, itu peninggalan bapak saya,” katanya pelan, matanya berkaca-kaca. “Saya sudah tua, mau ke mana lagi saya?”

Polisi itu diam. Angin berhembus membawa debu, membawa juga suara rengekan yang perlahan tenggelam oleh deru alat berat di kejauhan.

Lalu, di antara rumah-rumah yang kini tinggal puing, pertanyaan itu menggema pelan: Ke mana keadilan? Ke mana hati nurani para penguasa?(Fa)