Kanalnews.co, JAKARTA- GP Ansor buka suara terkait rencana pemerintah yang ingin menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. Ketua Badan Keuangan dan Perpajakan PP GP Ansor Muhammad Arif Rohman menilai kebijakan ini sangat memberatkan bagi masyarakat.
Sebelumnya, pemerintah akan menaikan PPN 12% paling lambat 1 Januari 2025 mendatang. Kebijakan ini sesuai dengan UU Nomor 7 Tahun 2022 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pasal 7.
Muhammad Arif menilai kebijakan ini dianggap akan sangat memberatkan bagi pelaku usaha, khususnya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dan juga Masyarakat secara umum yang masih berjuang untuk pulih dari dampak pandemi.
Kenaikan PPN juga akan meningkatkan biaya operasional bagi Perusahaan selaku produsen. Kondisi ini akan berdampak terhadap kenaikan harga dan pada akhirnya juga akan berpengaruh terhadap daya beli masyarakat selaku konsumen.
“Selain itu beberapa indikator ekonomi juga menunjukkan bahwa kondisi perekonomian kita sedang tidak baik- baik saja. Deflasi sudah terjadi dalam 4 (empat) bulan terakhir, gelombang PHK semakin meluas, kondisi sektor manufaktur yang terpuruk, nilai tukar yang melemah, kemudian inflasi pangan yang relatif tinggi serta prosentase kelas menengah yang semakin menyusut,” ungkapnya.
Di sisi lain, GP Ansor memahami pemerintah harus meningkatkan penerimaan negara untuk membiayai pembangunan. Namun menaikkan tarif PPN, bukanlah solusi yang tepat di tengah kondisi ekonomi yang masih rentan.
“Kami mendesak pemerintah untuk menunda kebijakan ini sampai perekonomian relative stabil dan mencari alternatif lain yang lebih ramah terhadap dunia usaha dan masyarakat misalkan dengan memberlakukan pajak karbon yang seharusnya sesuai UU HPP mulai berlaku di April 2022 serta memajaki produk turunan nikel yang sudah diwacanakan sejak beberapa tahun terakhir,” ujar Arif.
Selain itu, dengan adanya transisi kepemimpinan pemerintahan dari Presiden Joko Widodo ke Presiden terpilih Prabowo Subianto, GP Ansor meminta agar kenaikan PPN menjadi 12% dapat ditunda.
“Karena bagaimanapun transisi kepemimpinan pasti ada unsur ketidakpastiannya,” tutup Arif. (ads)