Kanalnews.co, JAKARTA – Meski tidak jadi diberlakukan tahun 2023, tetapi dalam Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2024, Pemerintah masih menetapkan target penerimaan dari pungutan cukai plastik dan Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) diproyeksi sebesar Rp 3,08 triliun.

Tentu hal ini masih meresahkan pelaku usaha. Kementerian Perindustrian juga mengkuatirkan beberapa dampak negatif yang harus dihitung pemerintah, antara lain membanjirnya produk impor karena akan jauh lebih kompetitif dan berkurangnya lapangan kerja akibat menurunnya permintaan dan produksi barang.

“Ketika ada pengenaan cukai pasti ada koreksi sedikit di harga yang ini akan ditanggung oleh konsumen. Kemudian ketika ada koreksi harga pasti permintaan akan terkoreksi juga. Takutnya kita dengan kondisi seperti ini industri dalam negeri yang sudah tumbuh termasuk di dalamnya ada industri kecil menengah yang mencapai 99,7%, kemudian industri makanan minumannya hampir 1,68 juta unit usaha ini akan terganggu dari sisi demand-nya. Ketika demand berkurang pasti kebutuhan yang ada akan diisi oleh produk impor. Ini juga yang harus kita sikapi karena demand tetap ada tetapi konsumen memilih harga yang lebih murah. Harga murah karena tidak ada pengenaan cukai di kemasan plastiknya”, ujar Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Kementerian Perindustrian, Ir. Reni Yanita M.SI pada Seminar bertajuk.

Untuk itu, tambah Reni, Pemerintah harus siap-siap karena jika satu demand sudah terkoreksi utilisasi industri nasional juga akan terkoreksi menjadi lebih rendah dan daya saingnya menjadi lebih rendah. Saat utilisasi dalam negeri rendah, ini akan diisi oleh pangsa import. Import juga bukan hanya di produk hilir yang dihasilkan tetapi juga bahan bakunya. Dia memberi contoh produk air minum dalam kemasan (AMDK), susu dalam kemasan, ini akan diisi oleh produk impor dan juga untuk bahan baku yang demandnya cukup tinggi.

Terkait dengan kemasan plastik, saat ini belum ditemui subtitusinya, baik itu berbasis kertas ataupun daun, karena kemasan plastik lebih efisien. Dari pemakaiannya, hampir sebagian besar industri makanan minuman masih menggunakan kemasan plastik sebagai kemasannya, termasuk industri kosmetik, mungkin hampir 99%, industri obat. Tingkat konsumsi plastik di Indonesia per kapita ini masih sangat rendah dibandingkan negara lain, yang hanya 22,5 kilo per kapita dibandingkan Vietnam malah jauh lebih tertinggal dengan Korea.

Jadi, Kemenperin berpendapat bahwa cukai bukan strategi terakhir untuk diterapkan untuk mengatasi persoalan sampah di Indonesia. Menurut Reni, persoalan sampah plastik dapat diatasi dengan pengelolaan yang optimal.

“Plastik itu bukan limbah, karena bisa bisa diolah lagi menjadi bahan baku untuk industri lainnya, termasuk untuk industri berbasis sandang, dalam hal ini karpet, kemudian ada juga industri alas kaki yang menggunakan bahan bakunya berbasis polyethylene maupun polypropylene tadi”, tambahnya

Anggota Komite Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Rahmat Hidayat, menambahkan sektor makanan dan minuman, pertumbuhannya cukup bagus di sekitar 4,39% pada quarter 3 tahun 2023 ini, tapi turun dibanding quarter 3 Tahun 2022 yang 4,9%. Kontribusi sektor makanan minuman pada PDB nasional lebih kurang 50,8%. Bila konsumsi turun maka otomatis household consumption turun, maka ekonomi juga akan melambat

Kekuatiran yang sama juga dikemukakan oleh Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) yang mengungkap ancaman terhadap industri plastik. Sekjen Inaplas, Fajar Budiono mengatakan pemberlakuan cukai plastik tidak dapat menjadi solusi untuk mengurangi penggunaan plastik. Menurutnya, yang semestinya diperbaiki yakni manajemen pengelolaan sampah.

“Implementasinya susah sekali, dalam aturan mainnya itu bagaimana cara menerapkannya? Satu mesin plastik itu dipakai untuk berbagai jenis dan ukuran, tetapi yang dikenakan ini kan plastik sekali pakai,” kata Fajar

Fajar menuturkan cukai plastik justru menjadi tantangan baru bagi industri untuk mengatur ulang kategorisasi permesinan. Bahkan, industri plastik terancam untuk mengeluarkan cost lebih tinggi dengan modal mesin baru. Sebab, mesin yang memproduksi plastik sekali pakai juga digunakan untuk produksi plastik lainnya. Dia mencontohkan, mesin produksi polybag untuk pertanian yang juga digunakan untuk memproduksi shopping bag.

“Dari aturan mainnya itu harus dipisahkan mesinnya, nah dipisahinnya bagaimana? Suatu mesin itu dipakai untuk produksi macam-macam, itu sama aja kita disuruh beli mesin baru, bikin ruangan baru, sama aja bikin pabrik baru,” ujarnya.

Menurut Fajar, cukai dapat memicu peningkatan ongkos produksi. Dengan kondisi tersebut, pelaku usaha diprediksi akan lebih memilih untuk impor produk plastik, alhasil tenaga kerja industri akan terpangkas.

Sama seperti Inaplas, Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman seluruh Indonesia (Gapmmi) juga mengungkapkan kekuatiran yang sama. Ketua Gapmmi, Adhi Lukman mengungkapkan, harga berbagai macam produk konsumsi masyarakat sehari-hari diprediksi melonjak seiring dengan wacana pengenaan cukai plastik dan minuman bergula dalam kemasan (MBDK) yang disebut akan berlaku mulai 2024.  Pihaknya sempat melakukan simulasi penerapan cukai dan disimpulkan dapat mempengaruhi kenaikan harga produk hingga 30%. (adt)