Jakarta, KanalNews.co – Selama ini Surat Keputusan Bersama (SKB) Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Korlantas Polri dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) terkait pelarangan angkutan logistik pada saat momen hari-hari besar keagamaan seperti Lebaran, Nataru, dan Imlek selalu menjadi beban bagi para pelaku usaha yang tentunya berdampak terhadap perekonomian. Sayangnya, pemerintah belum pernah mengkaji berapa besar dampak ekonomi yang ditimbulkan dengan adanya SKB tersebut.
Ekonom dari Universitas Katolik Parahyangan, Aknolt Kristian Pakpahan, mengatakan selama ini belum ada data yang reliabel atau dapat dipercaya misalnya dalam konteks penelitian atau kajian akademik bagaimana pembatasan angkutan logistik itu ini memberikan dampak terhadap masyarakat dan perekonomian. yang ingin mudik misalnya, kan kita bicara soal hari raya gitu ya, kita bicara soal Nataru, bicara soal Imlek.
“Pemerintah belum pernah mengukur dampak terhadap masyarakat dan pelaku ekonominya seperti apa. Karena, SKB ini kan terkait dengan berbagai macam sektor, berbagai macam kebutuhan. Jadi, rasanya tidak sesederhana yang dibayangkan,” ujarnya dalam sebuah acara talk show baru-baru ini.
Karena, menurutnya, jika pemerintah memiliki datanya, itu bisa menjadi pegangan atau catatan dalam melakukan evaluasi apa yang sudah dilakukan misalnya di tahun 2021, 2022, dan 2023 lalu untuk pembuatan SKB tahun 2024 ini. “Data itu kan bisa jadi catatan ketika menyusun SKB tahun berikutnya dengan melihat seperti apa sih dampak ketika misalnya kebijakan ini diterapkan,” tukasnya.
Dia melihat ada dua dampak yang ditimbulkan SKB tersebut, yaitu terhadap konsumen dan perekonomian nasional. Secara sederhana, menurutnya, akan terjadi situasi kelangkaan barang. Apalagi kalau dalam situasi atau masa hari raya, biasanya kebutuhan akan bahan-bahan pokok seperti air minum dalam kemasan (AMDK) meningkat, sehingga pemerintah perlu menyikapi ini.
Di sisi lain, lanjutnya, juga perlu dilihat dampak terhadap produsen atau pelaku ekonominya. Dia menjelaskan bahwa ada biaya tetap dalam menjalankan aktivitas ekonomi. Biaya tetap ini, kata Aknolt, bisa dilihat dalam komponen-komponen misalnya produksi, distribusi, dan juga kemudian konsumsi masyarakat. Di mana, SKB pembatasan itu akan memberikan beban tambahan bagi pelaku usaha. Misalnya gaji pegawai atau aktivitas produksi lainnya seperti sewa gudang, terutama bagi perusahaan-perusahaan yang pabriknya tidak bisa dihentikan aktivitas produksinya.
“Itu kan tidak bisa dihentikan pembayarannya hanya karena adanya pelarangan angkutan logistiknya. Nah, ini yang perlu diperhitungkan juga dalam pembuatan SKB itu,” katanya.
Menurutnya, dalam membuat SKB tersebut, pemerintah juga perlu melihat tren produk-produk apa yang kemudian sekarang menjadi kebutuhan pokok atau memang produk yang diminati di hari-hari besar keagamaan. “Rasanya AMDK itu sudah menjadi barang yang sangat dibutuhkan dan banyak dikonsumsi masyarakat. Apalagi kualitas air tanah kita sekarang ini kan banyak yang tidak layak minum,” ungkapnya.
Jadi, lanjutnya, pemerintah perlu melakukan evaluasi terhadap apa-apa saja yang menjadi pengecualian untuk dilarang dalam SKB terkait pelarangan angkutan logistik. “Pemerintah rasanya perlu melakukan evaluasi dan jangan kemudian malu atau jangan ragu untuk menambah hal-hal yang memang harus dibebaskan dari pelarangan dalam situasi-situasi seperti Lebaran dan Nataru atau hari raya lainnya,” tandasnya.
Di acara yang sama, Ketua Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia DKI Jakarta, Adil Karim, juga mengatakan dalam membuat SKB ini, pemerintah harus melihat lebih jauh dengan data-data dan harus mengukur bagaimana dampaknya. Menurutnya, hal itu belum dilakukan hingga saat ini. ”Kami sih sebenarnya dari angkutan logistik ini minta ruang secara proporsional saja. Tapi, kalau kita dibatasi dan nggak dikasih ruang, ini akan jadi masalah sama kita. Kita nggak bisa menggeser barang, hinterland-nya terganggu,” ungkapnya.
Dia juga mengatakan bahwa dampak paling besar dari kebijakan tersebut ke hinterland yang akhirnya berdampak ke industri. “Kita nggak bisa mengabaikan itu itu. Karena, yang namanya angkutan logistik ini kan merupakan urat nadi dari kegiatan perekonomian. Kalau aktivitasnya dibatasi, ini multiplier effect-nya kan sangat besar ke perekonomian nasional,” tuturnya.
Dia berharap agar pemerintah juga harus berpihak pada dunia usaha. “Karena apapun namanya, dunia usaha ini yang membayar pajak. Kan aneh kalau kita sudah dirugikan karena SKB tersebut, kita harus membayar pajak lagi. Bayangin kalau liburnya sampai 14 hari, kita harus mengeluarkan fixed cost juga,” tandasnya. (adt)