Kanalnews.co, JAKARTA – Anggota Asosiasi Pengusaha Air Kemasan Indonesia (Aspadin) sebagai wadah industri air minum dalam kemasan (AMDK) mengeluhkan semakin gencarnya kampanye negatif dan pembiaran terhadap klaim iklan yang menyerang produk air kemasan polikarbonat (PC).

“Kami melihat adanya pembiaran terhadap kampanye negatif terhadap air kemasan galon polikarbonat yang dimulai sejak tiga tahun lalu terlihat semakin masif baik melalui iklan, berita berbayar maupun penggunaan influencer dan buzzers di media sosial. Pembiaran tampak juga klaim iklan menggunakan BPA Free yang melanggar aturan karena sejatinya kemasan PET yang diiklankan memang tidak mengandung BPA,” kata anggota DPP ASPADIN Firman Sukirman.

“Kami melihat media online secara masif menggoreng berita tentang bahaya BPA di galon polikarbonat dengan narasi yang ugal ugalan, menggoreng kutipan penelitian dan narasumber secara tidak utuh serta melibatkan profesi dokter – seperti Richard Lee, bahkan wartawan – Aiman Wicaksono sebagai endorser yang patut diduga berbayar,” tambah Firman.

“Sementara glorifikasi klaim BPA-Free terus dilakukan di media iklan TV, digital bahkan baliho. Hal yang pernah terjadi sebelum tahun 2020 padahal kemasan PET sudah dipakai sejak lebih dari 40 tahun lalu tanpa klaim BPA-Free,” tegas Firman.

Di masa lalu, produk makanan ringan kacang yang melakukan klaim Bebas Kolesterol diminta untuk menghentikan klaim iklannya karena memang kacang tidak mengandung kolesterol. Tapi klaim BPA-Free pada kemasan PET masih dibiarkan bertebaran di ruang publik.

“Ada apa ini? Apakah berarti kemasan Polikarbonat boleh melakukan klaim Etilen Glikol-Free atau Asetaldehid-Free?” tanya Firman.

Firman mengatakan bahwa iklan BPA Free pada galon sekali pakai berbahan PET bertentangan dengan PERBPOM No. 20/2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan No. 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan. Pada pasal 67 ayat 2 huruf g disebutkan ”Dilarang mencantumkan pernyataan yang memuat ketiadaan suatu komponen yang secara alami tidak ada dalam Pangan Olahan, kecuali diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Sejatinya, sebagai jaminan kualitas dan keamanan produk AMDK, pemerintah melalui peraturan perundang undangan sudah mewajibkan industri AMDK untuk memenuhi ketentuan Standar Nasional Indonesia (SNI) dan ketentuan Izin Edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan RI, di mana telah ditentukan kriteria kualitas dan kuantitas kandungan baik dalam kemasan dan produk airnya.

“Kampanye hitam seperti ini tidaklah mendidik dan mencerdaskan,” tukasnya.

Menurutnya, setiap jenis kemasan pangan seperti kemasan galon sekali pakai (GSP) yang terbuat dari Polietilena Tereftalat (PET) maupun kemasan galon guna ulang (GGU) yang terbuat dari Polikarbonat (PC) mengandung zat kimia, yang bila berdiri sendiri memiliki potensi bahaya. Seperti kemasan PET misalnya mengandung Etilen Glikol (EG), Dietilen Glikol (DEG), Asetaldehid dan Antimon. Demikian juga kemasan PC mengandung Bisphenol-A (BPA).

Faktanya belum pernah ada kasus kesehatan apalagi kematian akibat paparan BPA dari mengkonsumsi air kemasan galon Polikarbonat. Justru kasus kematian akibat terpapar EG dan DEG, menurutnya sangat banyak.

“Dengan fakta tersebut apakah kita bisa mengatakan bahwa galon sekali pakai yang berbahan PET jauh lebih berbahaya dari galon PC, karena PET mengandung EG, DEG, Asetaldehid dan Antimon, sementara galon PC hanya mengandung BPA? Tentu tidak” katanya.

Pemerintah telah menjamin keamanan semua kemasan pangan yang tercermin dalam aturan batas migrasi atau luruhan maksimum sebagaimana diatur dalam Peraturan BPOM No. 20/2019 tentang Kemasan Pangan. Di sana ditetapkan untuk kemasan GGU total nilai batas migrasi maksimum BPA adalah 0,6 bpj , sedangkan untuk GSP total nilai batas migrasi maksimum EG dan DEG 30 bpj, Asetaldehid batas migrasi maksimum 6 bpj.

Terkait pelanggaran atas peraturan tersebut, Aspadin telah menyampaikan kepada pemerintah untuk segera ditertibkan.

“Tapi, kalau ini dibiarkan, apa jadinya bila mayoritas pengguna galon PC (96,4%) beriklan Free EG, DEG dan asetaldehid. Tentu akan menimbulkan kekisruhan, kegaduhan dan keresahan di masyarakat. Ini tidak boleh terjadi. Semua harus menahan diri, mematuhi aturan, menjaga etika dan menciptakan iklim yang kondusif apalagi menjelang Pemilu,” ujar Firman.

Saat ini industri AMDK mayoritas menggunakan kemasan galon PC (96,4%) dan lainnya galon PET (3,4%). Adapun jumlah pemakai galon PC adalah 96,4% sisanya 3,4% adalah galon PET.

Kemasan galon PC digunakan sejak tahun 1983 di Indonesia yang mulanya diimpor dari Amerika Serikat. Sedangkan galon pakai ulang PET baru di Indonesia sekitar tahun 2014 dan kemasan galon sekali pakai PET baru di awal tahun tahun 2020.

Galon PET mempunyai suhu tahan panas hanya sampai 70 derajat Celsius (Suhu Transisi Gelas=TG), sehingga tidak tahan untuk dicuci dengan suhu panas antara 60-80 derajat Celsius. Makanya galon jenis ini butuh kondisi khusus bila ingin diguna ulang. Sedangkan kemasan galon PC paling tahan panas sampai 150 derajat Celsius (TG), paling tahan banting dan tahan gores, tahan asam dan tahan zat kimia.

“Dan belum pernah ada kasus kemasan galon PC bermasalah (gosong) dalam distribusi karena paparan matahari yang terik. Namun, kekurangannya adalah harganya juga paling mahal. Sehingga paling cocok sebagai galon guna ulang,” tukasnya.

Firman menjelaskan bahwa Aspadin berdiri di atas semua jenis kemasan sesuai peraturan. Semua wajib mematuhi aturan. Baik galon PC maupun PET yang telah memiliki izin edar maka aman untuk dikonsumsi. Selain itu, tidak boleh ada jenis kemasan yang didiskriminasikan tanpa dasar peraturan ataupun pun bukti kasus nyata atau ilmiah.

“Contohnya, belum pernah ada kasus kesehatan apalagi kematian akibat paparan BPA. Tetapi kasus kematian akibat terpapar EG dan DEG sangat banyak. Jadi sekali lagi bahwa semua kemasan wajib sesuai peraturan,” katanya. (adt)